Label

Sabtu, 13 Oktober 2012

Pendidikan Ideal VS Realita Kesulaan

Bang Ulen di Monas - Jakarta


Oleh : Sahrul Takim

Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai lermbaga peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial, pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang di perlukan secara sebesar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa atas upaya mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus di lestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin, kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma- norma yang berlaku, memiliki jiwa patriotisme dan sebagainya.
 pendidikan juga diharapkan dapat memupuk rasa takwa kepada Tuhan yang Maha Esa meningkatkan kemajuan dalam bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan di harapkan untuk mengembangkan wawasan masyarakat terhadap idiologi bangsa, politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan kepada individu, masyarakat dan negara untuk mencapai pembangunan nasional.
Sekarang perlu kita tengok kembali lembaga-lembaga pendidikan di Kabupaten Kabupaten Kepulauan Sula, sudakah pendidikan menjadi harapan ideal sebagai upaya mewujudkan harapan rakyat? Sejauh mana peran lembaga pendidikan mewujudkan masyarakat cerdas, mandiri, kreatif dan memiliki life sklis dalam menata arah kehidupan? Standar apakah yang dapat dipaikan untuk mengukur peranan pendidikan dalam menlahirkan ketentraman masyarakat di Kabupaten Kepulauan Sula.
Jika berkata jujur, praktek pendidikan di Kabupaten Kepulauan Sula masih memiliki banyak kekurangan di sana-sini baik ditinjau dari segi yuridis formal maupun kebutuhan masyarakat, tuntunan pendidikan secara yuridis formal mengisyaratkan bahwa terjadinya keseragaman pendidikan di seluruh tanah air dengan menggunakan standar pencapaian tujuan pendidikan yang tertera dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 3, dan kebutuhan masyarakat yakni Pendidikan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (UU Sisdiknas Pasal 4).
Bertolak dari landasan formal & Kultural pendidikan tersebut telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa arah pelaksana pendidikan melibatkan komponen-komponen serta stake holders pendidikan untuk turut mendesaian kebutuhan dan kiblat dari pelaksanaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang berorintasi secara sentralisasi maupun desentralisasi.
Kumpulan fakta-fakta nyata di Kabupaten Kepulauan Sula yakni terjadinya banjir bangunan infrastruktur pendidikan, dari pendidikan dasar (SD) hingga ke pendidikan menengah atas (SMA/MA/SMK) disetiap kecamatan bahkan desa setempat yang sekarang menjadi prioritas pemerintah daerah, namun disisi lain mengesampingkan perhatiannya kepada pengadaan tenaga edukatif yang menjadi bagian penting  yang tak dapat dilepas pisahkan dari pengembangan pendidikan pada suatu tanah air.
Sekarang pemerintah daerah beriming-iming membuat sula sebagai daerah provinisi dengan memekarkan dua kabupaten (Taliabu dan Mangole) ditengah ketidaksiapan Sumber daya Manusia dan kelayakan daerah. Secara sederhana dalam tinjauan pendidikan dapat kita ilustrasikan sebagai ”seorang bayi berumur 7 tahun  dengan keterbatasan pikiran dan tenaga, diperintahkan untuk mencari rejeki agar menghidupkan keluarga”, tafsiran sederhananya adalah Sula dari aspek pendidikan dan pemberdayaan masyarakat butuh banyak sentuhan dari pemerintah.
Lebih disayangkan lagi pendidikan malah dicampur baur dengan kepentingan politik. komunitas pendidikan yang diharapkan menjadi filterisasi atas sekian problematika kemasyarakatan dalam mewujudkan perdamaian, kesejahtraan serta mencerdaskan kehidupan bangsa malah dijadikan gerbong besar untuk meraiah kepentingan orang dan golongan tertentu yang diselingi dengan tekanan-tekan secara struktural yang berakhir pada peserta didik (jika tidak pilih si A maka tidak naik kelas) demikianlah realitas pendidikan yang terjadi di pelosok-pelosok daerah sula sekarang.
 Pada tingkatan sekloah sendiri persoalan yang kerap terjadi adalah kepala sekolah tidak terfokus pada tupoksinya ”sebagai seorang supervisor, motivator serta leader pada institusi pendidikan” malah disibukkan dengan persoalan eksternal ”membangun kedekatan untuk mempertahankan kedudukannya”, berarti yang demikian merupakan bentuk ketidaksiapan dan kehilangan orientasi untuk mengarahkan suatu satuan pendidikan yang dinahkodainya.
Tidak dapat dipungkiri , masih banyak sekali kepala sekolah di negeri ini yang tidak menguasai pengetahuan standar sebagai kepala sekolah seperti : kemampuan manajerial, pengeuasaan teknik kepemimpinan, penguasaan teknologi informasi (komputer, internet dsb). Kondisi ini masih terjadi dibanyak sekolah, lantaran jabatan kepala sekolah tidak jarang dipilih melalui sistem tunjuk yang hanya didasarkan pada analisa faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan kedekatan hubungan, dan mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kamampuan bersaing.
Hasil yang kita saksikan adalah kinerja kesehariannya kepala sekolah cenderung konfensional. Yaitu mengedepankan budaya kinerja Asal Bapak Senang (ABS), menurut petunjuk, dan sebagainya. Kndisi yang sama kemudian ditiru para guru dari hari ke hari yang kemidian menghasilakan budaya kerja yang jauh panggang dari kompotensi dan profesional. Akibat yang kita saksikan dari budaya kerja demikian adalah mutu pendidikan kita secara institusional terus merosot dari waktu-kewaktu dan anak didik kita tidak mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif saat ini. Pendidikan hadir dengan wajah kusam dan tak bersemangat. Selayaknya sebuah gambaran maka Realita pendidikan tersebut merupakan potret buruk yang tak elok dipandang.
Dalam masyarakat pra industri anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang lebih dewasa sambil mengamati apa yang di lakukan, kemudian meniru, dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana telah dilakukan oleh orang dewasa. Dalam konteks dewasa didunia pendidikan adalah guru, tempat mana anak-anak meniru, berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah diperbiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua sehingga dari generasi ke generasi tak pernah berubah (statis).
Untuk mengubah segalanya maka sistem yang terbangun di dalam masyarakat juga perlu di rubah bagi yang bertentangan dengan semangat perubahan kemajuan pendidikan. Dengan semakin majunya masyarakat pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki nilai kesadaran kepada kelompok masyarakat, dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk merubah ini mengakibatkan terjadinya setiap trasmisi budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai sekian permasalahan. Dalam suatu negara sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan dan melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural production) agar dapat menjawab kompleksitas problema sosial.
Dengan berdasarkan pada reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati norma,etika serta tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan akan menjadi tugas dari sekolah-sekolah. termasuk dari lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi. Dengan demikian sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya mengalihkan nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan teknisnya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai - nilai tersebut berjalan lancar dan mulus.
Rasanya tugas yang harus dilakukan oleh kelompok terdidik cukup besar namun mau tidak mau mesti dipikul, nasib bangsa ini tidak mungkin kita hadapi dengan sikap pesimis atau mambiarkan begitu saja tanpa ada sentuhan dari kita sekalian, mendobrak hambatan-hambatan yang membelenggu kehidupan rakyat, menembus budaya keterpurukan, keterbelakangan menuju kecerahan hidup masa depan.
Ini adalah tantangan bagi mahasiswa khususnya STAIN Ternate di Sanana dalam upaya menularkan solusi-solusi kritis serta mengambil peran dalam kehidupan yang berlandaskan pada pedidikan keislaman hingga pada akhirnya dapat merubahkan tatanan masyarakat kearah yag lebih baik serta mendapat ridho dari Allah SWT.
Sekian...........................!


Sanana 07 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar