Bang Ulen di Monas - Jakarta |
Oleh : Sahrul Takim
Sebagian
besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai lermbaga
peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial, pemerintah bersama orang tua telah
menyediakan anggaran pendidikan yang di perlukan secara sebesar-besaran untuk
kemajuan sosial dan pembangunan bangsa atas upaya mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus di lestarikan seperti rasa
hormat kepada orang tua, kepada pemimpin, kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum
dan norma- norma yang berlaku, memiliki jiwa patriotisme dan sebagainya.
pendidikan juga diharapkan dapat memupuk rasa
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa meningkatkan kemajuan dalam bidang pembangunan
politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan di
harapkan untuk mengembangkan wawasan masyarakat terhadap idiologi bangsa,
politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan
benar, sehingga membawa kemajuan kepada individu, masyarakat dan negara untuk
mencapai pembangunan nasional.
Sekarang
perlu kita tengok kembali lembaga-lembaga pendidikan di Kabupaten Kabupaten
Kepulauan Sula, sudakah pendidikan menjadi harapan ideal sebagai upaya mewujudkan
harapan rakyat? Sejauh mana peran lembaga pendidikan mewujudkan masyarakat
cerdas, mandiri, kreatif dan memiliki life sklis dalam menata arah kehidupan? Standar
apakah yang dapat dipaikan untuk mengukur peranan pendidikan dalam menlahirkan
ketentraman masyarakat di Kabupaten Kepulauan Sula.
Jika berkata
jujur, praktek pendidikan di Kabupaten Kepulauan Sula masih memiliki banyak
kekurangan di sana-sini baik ditinjau dari segi yuridis formal maupun kebutuhan
masyarakat, tuntunan pendidikan secara yuridis formal mengisyaratkan bahwa terjadinya
keseragaman pendidikan di seluruh tanah air dengan menggunakan standar
pencapaian tujuan pendidikan yang tertera dalam undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 3, dan kebutuhan masyarakat yakni
Pendidikan demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (UU Sisdiknas
Pasal 4).
Bertolak dari
landasan formal & Kultural pendidikan tersebut telah memberikan pemahaman
kepada kita bahwa arah pelaksana pendidikan melibatkan komponen-komponen serta
stake holders pendidikan untuk turut mendesaian kebutuhan dan kiblat dari
pelaksanaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang berorintasi secara
sentralisasi maupun desentralisasi.
Kumpulan
fakta-fakta nyata di Kabupaten Kepulauan Sula yakni terjadinya banjir bangunan
infrastruktur pendidikan, dari pendidikan dasar (SD) hingga ke pendidikan
menengah atas (SMA/MA/SMK) disetiap kecamatan bahkan desa setempat yang sekarang
menjadi prioritas pemerintah daerah, namun disisi lain mengesampingkan
perhatiannya kepada pengadaan tenaga edukatif yang menjadi bagian penting yang tak dapat dilepas pisahkan dari
pengembangan pendidikan pada suatu tanah air.
Sekarang
pemerintah daerah beriming-iming membuat sula sebagai daerah provinisi dengan
memekarkan dua kabupaten (Taliabu dan Mangole) ditengah ketidaksiapan Sumber daya
Manusia dan kelayakan daerah. Secara sederhana dalam tinjauan pendidikan dapat
kita ilustrasikan sebagai ”seorang bayi berumur 7 tahun dengan keterbatasan pikiran dan tenaga,
diperintahkan untuk mencari rejeki agar menghidupkan keluarga”, tafsiran
sederhananya adalah Sula dari aspek pendidikan dan pemberdayaan masyarakat butuh
banyak sentuhan dari pemerintah.
Lebih
disayangkan lagi pendidikan malah dicampur baur dengan kepentingan politik. komunitas
pendidikan yang diharapkan menjadi filterisasi atas sekian problematika
kemasyarakatan dalam mewujudkan perdamaian, kesejahtraan serta mencerdaskan
kehidupan bangsa malah dijadikan gerbong besar untuk meraiah kepentingan orang
dan golongan tertentu yang diselingi dengan tekanan-tekan secara struktural
yang berakhir pada peserta didik (jika tidak
pilih si A maka tidak naik kelas) demikianlah realitas pendidikan yang
terjadi di pelosok-pelosok daerah sula sekarang.
Pada tingkatan sekloah sendiri persoalan yang
kerap terjadi adalah kepala sekolah tidak terfokus pada tupoksinya ”sebagai
seorang supervisor, motivator serta leader pada institusi pendidikan” malah
disibukkan dengan persoalan eksternal ”membangun kedekatan untuk mempertahankan
kedudukannya”, berarti yang demikian merupakan bentuk ketidaksiapan dan
kehilangan orientasi untuk mengarahkan suatu satuan pendidikan yang dinahkodainya.
Tidak dapat
dipungkiri , masih banyak sekali kepala sekolah di negeri ini yang tidak
menguasai pengetahuan standar sebagai kepala sekolah seperti : kemampuan
manajerial, pengeuasaan teknik kepemimpinan, penguasaan teknologi informasi
(komputer, internet dsb). Kondisi ini masih terjadi dibanyak sekolah, lantaran
jabatan kepala sekolah tidak jarang dipilih melalui sistem tunjuk yang hanya
didasarkan pada analisa faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan kedekatan
hubungan, dan mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kamampuan
bersaing.
Hasil yang kita
saksikan adalah kinerja kesehariannya kepala sekolah cenderung konfensional.
Yaitu mengedepankan budaya kinerja Asal Bapak Senang (ABS), menurut petunjuk,
dan sebagainya. Kndisi yang sama kemudian ditiru para guru dari hari ke hari
yang kemidian menghasilakan budaya kerja yang jauh panggang dari kompotensi dan
profesional. Akibat yang kita saksikan dari budaya kerja demikian adalah mutu
pendidikan kita secara institusional terus merosot dari waktu-kewaktu dan anak
didik kita tidak mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif
saat ini. Pendidikan hadir dengan wajah kusam dan tak bersemangat. Selayaknya
sebuah gambaran maka Realita pendidikan tersebut merupakan potret buruk yang
tak elok dipandang.
Dalam
masyarakat pra industri anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan
diri dalam aktivitas orang-orang yang lebih dewasa sambil mengamati apa yang di
lakukan, kemudian meniru, dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan
sesuatu sebagaimana telah dilakukan oleh orang dewasa. Dalam konteks dewasa
didunia pendidikan adalah guru, tempat mana anak-anak meniru, berbuat seperti
apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan,
anak-anak telah diperbiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang
lebih tua sehingga dari generasi ke generasi tak pernah berubah (statis).
Untuk
mengubah segalanya maka sistem yang terbangun di dalam masyarakat juga perlu di
rubah bagi yang bertentangan dengan semangat perubahan kemajuan pendidikan.
Dengan semakin majunya masyarakat pola budaya menjadi lebih kompleks dan
memiliki nilai kesadaran kepada kelompok masyarakat, dengan perkataan lain
masyarakat tersebut telah mengalami perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk
merubah ini mengakibatkan terjadinya setiap trasmisi budaya dari suatu generasi
ke generasi berikutnya selalu menjumpai sekian permasalahan. Dalam suatu negara
sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan
bagi upaya menciptakan dan melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural production)
agar dapat menjawab kompleksitas problema sosial.
Dengan
berdasarkan pada reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk
mencintai dan menghormati norma,etika serta tatanan lembaga sosial dan tradisi
yang sudah mapan akan menjadi tugas dari sekolah-sekolah. termasuk dari
lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga
pemerintahan dan lembaga ekonomi. Dengan demikian sekolah mengemban tugas untuk
melaksanakan upaya mengalihkan nilai yang menjadi way of life masyarakat dan
bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan
program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan teknisnya secara
paedagogis, agar proses transmisi nilai - nilai tersebut berjalan lancar dan
mulus.
Rasanya tugas yang harus dilakukan
oleh kelompok terdidik cukup besar namun mau tidak mau mesti dipikul, nasib
bangsa ini tidak mungkin kita hadapi dengan sikap pesimis atau mambiarkan
begitu saja tanpa ada sentuhan dari kita sekalian, mendobrak hambatan-hambatan
yang membelenggu kehidupan rakyat, menembus budaya keterpurukan,
keterbelakangan menuju kecerahan hidup masa depan.
Ini adalah tantangan bagi mahasiswa
khususnya STAIN Ternate di Sanana dalam upaya menularkan solusi-solusi kritis serta
mengambil peran dalam kehidupan yang berlandaskan pada pedidikan keislaman
hingga pada akhirnya dapat merubahkan tatanan masyarakat kearah yag lebih baik
serta mendapat ridho dari Allah SWT.
Sekian...........................!
Sanana 07 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar